Tidak diragukan bahwa fundamental makro ekonomi dan kinerja sektor riil Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda krisis, meski krisis keuangan melanda berbagai Negara. Krisis global ini memang sempat mengguncang pasar modal dan valas di Indonesia. seberapa jauh krisis ini akan berdampak pada sektor riil, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), tampaknya perlu diantisipasi. Kewaspadaan diperlukan walaupun pemerintah optimistis bahwa fundamental perekonomian nasional masih cukup kuat untuk menyangga sektor riil.
Berbagai kebijakan perbankan untuk menunjang sektor UKM mulai di terapkan oleh beberapa perbankan di Indonesia, seperti KUR ( Kredit Usaha Rakyat ), dan kebijakan untuk menurunkan suku bunga dan tanpa agunan untuk para nasabah dari sektor UKM. Kebijakan ini mulai dilirik oleh para pengelola sektor UKM sehingga para pengelola UKM mulai menggeliat untuk mengembangkan UKMnya. Sektor industri diperkirakan cepat atau lambat terkena dampak krisis. Masalah struktural yang dihadapi industri nasional adalah masih tingginya kandungan impor bahan baku dari seluruh industri manufaktur. Para pengusaha di sektor industri berteriak agar pemerintah segera mengkaji ulang kebijakan impor, sehingga pasar domestik aman. Saat ini, banyak eksportir dari luar negeri yang mencari alternatif negara tujuan ekspor selain AS, sehingga apabila Indonesia tidak memperketat aturan impor, ditakutkan akan banyak produk illegal yang masuk ke negara ini. Pada saat krisis melanda negeri ini, 1997-1998, perusahaan berskala besar yang selama era Orde Baru dipuji sebagai aset nasional untuk menggerakkan perekonomian, akhirnya rontok juga. Sejarah mencatat konglomerat Indonesia terbukti rapuh saat krisis.
Tahan krisis
Sedangkan UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor. Sumbangan UKM terhadap produk domestic bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli/importir di luar negeri. Namun, daya tahan UKM pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) benar-benar diuji.
Apa tantangan yang dihadapi UKM? Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan UKM dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, akses industri kecil terhadap lembaga kredit formal rendah, sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber lain, seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Mayoritas UKM merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris, 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris, dan hanya 1,7% yang sudah memiliki badan hukum (PT/ NV, CV, Firma, atau koperasi). Keempat, tren nilai ekspor menunjukkan betapa sangat berfluktuatif dan berubah-ubahnya komoditas ekspor Indonesia selama periode 1999-2006. Penyebabnya adalah eksportir masih menunggu order dari pembeli/pelanggan dari luar negeri, faktor musim di negara mitra dagang ikut berpengaruh, dan belum stabilnya bisnis UKM yang berorientasi ekspor. Kelima, masalah terbesar yang dihadapi dalam pengadaan bahan baku adalah mahalnya harga, terbatasnya ketersediaan, dan jarak yang relatif jauh. Ini karena bahan baku bagi UKM yang berorientasi ekspor sebagian besar berasal dari luar daerah usahan tersebut berlokasi. Keenam, masalah utama yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah tidak terampil dan mahalnya biaya tenaga kerja. Regenerasi perajin dan pekerja terampil relatif lambat. Akibatnya, di banyak sentra ekspor mengalami kelangkaan tenaga terampil untuk sektor tertentu. Ketujuh, dalam bidang pemasaran, masalahnya terkait dengan banyaknya pesaing yang bergerak dalam industri yang sama, relatif minimnya kemampuan bahasa asing sebagai suatu hambatan dalam melakukan negosiasi, dan penetrasi pasar di luar
negeri. Donis dari berbagai sumber
Post A Comment:
0 comments: